Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
Pembangunan
ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang
terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan
yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan
daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang
perlu diperhatikan adalah (1) mengenali ekonomi wilayah dan (2) merumuskan
manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus menafsir potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggan sumberdaya publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. Setidaknya ada tiga implikasi dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah, yaitu
Pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan lingkungan nasional dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua, sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah, begitu pula sebaliknya.
Ketiga, perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Hal itu juga terjadi pada derajat pengendalian kebijakan.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus menafsir potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggan sumberdaya publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. Setidaknya ada tiga implikasi dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah, yaitu
Pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan lingkungan nasional dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua, sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah, begitu pula sebaliknya.
Ketiga, perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Hal itu juga terjadi pada derajat pengendalian kebijakan.
Dalam
era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah. Pertama
adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999 tentang
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32/2004 dan UU
No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketiga UU No.12/2008
tentang pemerintahan daerah. UU ketiga ini disebut revisi dari UU pertama dan
kedua atas pemerintahan daerah.
Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh
Presiden B.J. Habibie dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang
sentralistik (UU No.5/1974 Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.
Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi, UU
No.22/1999 telah dinilai baik dari segi kebijakan dan implementasinya, dan
ternyata mengalami kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami revisi
menjadi UU.32/2004 dan di revisi lagi menjadi UU No.12/2008.
Dengan lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah ,
yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 diharapkan melahirkan check and
balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga demokrasi tidak
lagi sebatas coretan diatas kertas semata.
Gambaran
Umum Otonomi Daerah
A. Konsep Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dapat
diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud
dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah
selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara
memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung
jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi
yang ada di daerahnya .
B.Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah
merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah
dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah
masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah
untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak
daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan
kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas
berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan
tidak melanggar ketentuan hukum yaitu perundang-undangan.
C. Tujuan
Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2) Pengembangan kehidupan demokrasi.
3) Keadilan nasional.
4) Pemerataan wilayah daerah.
5) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6) Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2) Pengembangan kehidupan demokrasi.
3) Keadilan nasional.
4) Pemerataan wilayah daerah.
5) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6) Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7) Menumbuhkan prakarsa dan
kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
D. Asas
Otonomi Daerah
Menurut
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, prinsip penyelenggaraan pemerintahan
daerah menggunakan asas-asas sebagai berikut:
1. Asas Desentralisasi: Penyerahan
wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Asas Dekonsentrasi: Pelimpahan wewenang oleh
pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepala
instansi vertikal di wilayah tertentu untuk mengurus urusan pemerintahan.
3. Asas Tugas Pembantuan: Penugasan
dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dan dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan desa serta dari pemerintah kabupaten/kota ke desa
untuk melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu disertai
pendanaan dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan.
Otonomi
Daerah dalam Perspektif Politik Lokal
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan
paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat
otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat
lokal, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah
provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004
tentang Pemerintah Daerah , yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 juga telah
melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat .
Dengan demikian proses check and balances dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada
satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan secara regular, demikian pula halnya
kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung melalui
pemilukada demokratik.
Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah mendorong
demokratisasi tata kelola pemerintahan. Realisasi otonomi daerah juga telah
menghasilkan kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan
efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan
sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih
jelas bersumber pada pendapatan Negara dan daerah, serta akselerasi
sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pajak dan
retribusi, juga pinjaman daerah.
Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak
dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya
lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol
politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Otonomi Daerah dalam Perspektif Ekonomi
Di bidang ekonomi, otonomi daerah telah memperkokoh sendi-sendi
perekonomian daerah dengan semakin berkembangnya pembangunan infrastruktur yang
menggerakkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal (local economic growth)
serta peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.
Kemajuan lain menunjukkan , pelaksanaan otonomi daerah yang
menuntut terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
telah mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih
transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi.
Realisasi kebijakan daerah yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, pada satu
sisi telah meningkatkan Indeks Pembangunan manusia (IPM) secara rasional, dan
pada sisi lain menghasilkan berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan
kesehatan serta pengurangan kemiskinan.
Selain itu juga otonomi daerah dalam
perspektif ekonomi dituntut harus mampu mewujudkan kemandirian dalam
melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya
sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Disini daerah dituntut agar mampu untuk
mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, pada dasarnya dilakukan dengan prinsip money follow function (besarnya distribusi keuangan
didasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang telah
ditentukan terlebih dahulu antara pusat dan daerah). Hal ini berarti bahwa
setiap bentuk penyerahan kewenangan harus diikuti dengan penyerahan pendanaan
untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dalam implementasinya, kepada daerah diberikan
sumber sumber pendanaan terutama melalui pengalokasian Transfer ke Daerah
seiring dengan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan
daerah. Disamping transfer, pada dasarnya di daerah sendiri telah terdapat
kewenangan untuk melakukan pungutan pajak dan retribusi, yang tertampung dalam
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Otonomi
Daerah dalam Perspektif Sejarah
A.
Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblaad
No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai
keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad
No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang
semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan
yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende
landschappen).Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan
kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak
pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat
dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
B.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang
melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina,
sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan
kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah
Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun
berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire)
No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa
Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah
otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
C. Masa Kemerdekaan/Orla, Orba, Dan Reformasi
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
a) Provinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat
dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan
tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur
tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan
istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta
Raya
b) Daerah swatantra tingkat II
c) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi
daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
a) Provinsi (tingkat I)
b) Kabupaten (tingkat II)
c) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas
memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan.
5. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan
mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi, akan tetapi dizaman
soeharto pelaksanaannya cenderung sentralistik. Dalam UU ini dikenal dua
tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara
dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
a) Provinsi/ibu kota negara
b) Kabupaten/kotamadya
c) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II
karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih
mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan
desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999
adalah sebagai berikut:
a)
Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b)
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
c)
Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d)
Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara
umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004
tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat
berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas
dan diperjelas.
9. Periode UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi Daerah dalam Perspektif
Pancasila
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat
ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan
istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh
suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah
paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai
kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur,
parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu
dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari
sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan
penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila
sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi
dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan
penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasilaa
adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau
persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi
landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan
pembangunan.
Dari aspek ideologi, sudah jelas
dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar
negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan ketuhanan,
semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia,
demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika
kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila
tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan
bangsa Indonesia.
Hambatan Otonomi Daerah
Menurut Penulis, hambatan otonomi
daerah ialah sebagai berikut:
1)
Pemerintah pusat menganaktirikan daerah
2)
Cenderung timbulnya egoisme “Putera Daerah”
3)
Mudah tumbuhnya gerakan disintegrasi bahkan kemungkinan separatis dikarenakan
pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah untuk masalah bagi hasil kekayaan
alam,dan lain-lain
4)
Disparitas antar Daerah menimbulkan kecemburuan antar Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar